Kesehatan

RSU Prima Medika dan Pasien JKN Sepakat Damai, Perbaiki Sistem Alur Pelayanan dan Tuntaskan Iuran Biaya Tambahan

 Rabu, 04 Oktober 2023 | Dibaca: 205 Pengunjung

Proses mediasi pasien Nyoman Parsua dengan RS Prima Medika dilakukan di ruang pertemuan lantai VI di BPJS Kesehatan, Renon, Denpasar, Rabu (3/10/2023).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Menyikapi keluhan pasien terhadap layanan atas persoalan tidak diganti ruginya uang resep obat oleh Rumah Sakit Umum (RSU) Prima Medika, sempat menyeruak ke publik masyarakat Bali. Namun, persoalan ini tampaknya telah berakhir dengan kesepakatan damai di Kantor BPJS Kesehatan Cabang Kota Denpasar, Rabu (4/10/2023).

Pertemuan mediasi dihadiri Ina Oktika dari BPJS Kesehatan, pasien Nyoman Parsua, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali Bidang Kesejahteraan Ir. I Gusti Putu Budiarta, Nyoman Darma dari Rumah Jokowi, dan juga dr. Putu Dian Ekawati, MPH., selaku Direktur RS Prima Medika.

Pembahasan mediasi berlangsung dua arah dalam memperbaiki mekanisme dan pelayanan di RS Prima Medika. Antara pasien dan komponen RS Prima Medika, memberikan kronologis peristiwa terjadi, sehingga terjadi kesepakatan dan ditanda tangani bersama pada hasil kesepakatan.

"Intinya dalam laporan yang saya sampaikan keluhan ini agar tidak terulang lagi, sebelumnya saya juga banyak menerima keluhan tidak hanya di RSU Prima Medika saja. Kedepannya agar tidak ada lagi tambahan-tambahan biaya yang dibebankan kepada peserta, agar apa yang berjalan di lapangan sesuai dengan aturan yang berlaku," ujar Parsua.

Di sela-sela mediasi tidak dipungkiri RS Prima Medika, telah mengakui kesalahan atas kinerja petugasnya terhadap pasien Nyoman Parsua, di mana dia diminta untuk membeli obat di luar rumah sakit dengan resep dokter.

"Terkait dengan kasus ini kami dari pihak RS meminta maaf yang sebesar-besarnya terhadap peserta sebagai pasien loyal maupun BPJS sebagai provider. Pada unit farmasi pemberi pelayanan obat, karena pemahaman yang keliru terhadap regulasi pemberian obat dengan restriksi, sehingga pasien diberikan copy resep untuk dibeli di luar RS, tanpa komunikasi dan berkoordinasi untuk mengingatkan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) tentang persyaratan tersebut. Seharusnya pasien dapat diberikan 7 hari, kemudian dilakukan kontrol 7 hari kemudian, untuk evaluasi terapi yang diberikan apakah masih memerlukan terapi lanjut atau tidak," ujar dr. Putu Dian, di dampingi bersama rekan-rekan RS Prima Medika lainnya.

Menurut dr. Putu Dian bahwa mengenai obat rosavastatin yang diresepkan oleh DPJP, berupa kemasan 20 mg, sedangkan yang bisa diklaimkan sesuai dengan fornas adalah 10 mg.

"Oleh karena itu, dari kasus ini kami akan banyak belajar untuk pelayanan agar tidak ada iuran biaya, peserta akan diarahkan untuk kontrol kembali ke RS untuk dilakukan pemeriksaan oleh DPJP," ucapnya.

Pihaknya mewakili RS Prima Medika, bahkan beberapa kali mengutarakan permohonan maafnya atas kejadian ini dan akan melakukan perbaikan sistem dan meningkatkan kualitas pelayanan ke depan.

"Kami akan memperbaiki sistem alur layanan kami, salah satunya di mana dokter akan menyesuaikan kembali bagaimana kita mengatur pelayanan peserta agar tidak menimbulkan iuran biaya dan akan dilakukan follow up atau pemeriksaan kembali ke DPJP sesuai dengan indikasi medis tanpa mengurangi kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien," ucap dr. Putu Dian.

Upaya mediasi turut mendapat perhatian Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali Ir. I Gusti Putu Budiarta. Baginya, masyarakat di Kota Denpasar atau Bali, diakuinya secara tidak langsung masih ada ketidakpahaman tentang kebijakan regulasi BPJS Kesehatan.

"Bapak Nyoman Parsua adalah salah satu masyarakat Bali, yang mengadu kepada kami terkait keluhannya terhadap pelayanan BPJS Kesehatan di RS. Ada yang kurang sinkron antara pelayanan yang diberikan oleh RS kepada pasien, sehingga timbul keluhan tersebut. Harus kita selidiki lebih lanjut apa mekanisme dari RS yang salah atau pihak masyarakat yang kurang paham," beber Budiarta.

Masyarakat tidak paham tentang regulasi, itu karena tidak ada atau masih kurangnya sosialisasi dari BPJS Kesehatan ke masyarakat.

"Pemahaman saya ketika masyarakat harus mendapatkan layanan rumah sakit, tentu saja mereka harus mendapatkan layanan. BPJS juga supaya memahami layanan BPJS-nya, sehingga dapat bekerja dengan baik," tegasnya.

Lanjut Budiarta bahwa mengenai persinggungan atas dalih dugaan ketidaktahuan dokter yang dianggap tidak mengetahui perjalanan kesehatan pasien Parsua, tentu saja dinilai kurang tepat.

"Tahu betullah (dokter mengetahui-red), karena sudah tercatat di laptopnya. Kalau alasan dokter terlalu banyak (pasien-red), ya tidak mungkin itu," katanya.

Gusti Putu Budiarta menegaskan terhadap BPJS Kesehatan dan RS Prima Medika, untuk mencegah terulangnya kejadian ini di lapangan.

"Jangan sampai terulang karena banyak masyarakat tidak paham hal ini. Mereka tentu ingin supaya dibantu dan disembuhkan sampai tuntas, serta mereka membayar kewajiban BPJS-nya. Kalau ada sosialisasi baru, terus sosialisasikan ke masyarakat," tegasnya.

Sementara itu, Ina Oktika selaku Kepala Bagian Mutu Pelayanan Fasilitas Kesehatan BPJS Cabang Denpasar mengatakan BPJS Kesehatan, RS Prima Medika, dan pasien masyarakat tentu saja melakukan proses mediasi yang sempat dikeluhkan dan berakhir dengan kesepakatan damai.

"Menurut kami telah terjadi kekeliruan pemahaman dari sisi petugas farmasi di pelayanan, di mana dari segi regulasi, yakni PMK 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program JKN terkait dengan penyediaan obat di fasilitas kesehatan dilaksanakan dengan mengacu kepada Formularium Nasional (Fornas)," kata Oktika.

Ditegaskan Oktika bilamana dalam pemberian pelayanan kesehatan, pasien membutuhkan obat yang melampaui retriksi, maka dapat dimungkinkan setelah mendapat persetujuan Komite Medik Rumah Sakit, yang biayanya sudah termasuk dalam tarif INA CBGs dan tidak boleh dibebankan kepada peserta.

"Jika ada keluhan maupun pertanyaan terkait dengan informasi pelayanan di Rumah Sakit, kami sudah memasang poster petugas BPJS Satu yang siap memberikan informasi dan menerima keluhan yang dialami peserta terhadap pelayanan rumah sakit," tegas Oktika.

Wayan Darma dari Rumah Jokowi  bahwa munculnya kekeliruan dalam komunikasi antara RS Prima Medika dan pasien Parsua diharapkan selesai tepat waktu secara bersama-sama.

"Jadi ke depan komunikasi, antara pasien dan RS harus sama. Pasti dokter tahu tentang sistem bekerjanya, sistem apa yang dipakai dan kapan terakhir check up (contohnya pengalamannya cek kesehatan di RS di Malaysia) dan lain-lainnya. Mari kita benahi sistem ini," ucapnya.

HASIL KESEPAKATAN
Upaya pertemuan menyepakati hasil mediasi sebagai berikut: 1. Dari rumah sakit akan berbenah mengenai sistem alur pelayanan yang ada agar peserta tidak dikenakan iuran biaya tambahan. Apabila peserta secara indikasi medis masih memerlukan obat di luar restriksi oleh DPJP, maka peserta akan diarahkan kembali untuk kontrol ke Rumah Sakit; 2. Memastikan pemahaman yang sama terhadap regulasi baik dari manajemen rumah sakit sampai dengan pelaksanaan rumah sakit.

KRITISI LAYANAN RUMAH SAKIT
Untuk diketahui, sebelumnya Nyoman Parsua, salah satu pengguna manfaat dari Kartu Indonesia Sehat (KIS) mengkritisi kinerja layanan RSU Prima Medika, atas resep obat yang mesti dibeli ke apotik di bilangan wilayah Monang-maning, Denpasar.

Parsua menuturkan apabila kontrol rutin terhadap keluhan sakit jantung dia dilakukan setiap sebulan sekali di RS Prima Medika Denpasar. Namun, sebagai masyarakat yang memanfaatkan KIS/BPJS, tentu saja ia menilai berhak memperoleh obat-obatan usai kontrol. Sayangnya, Parsua justru diarahkan RS Prima Medika untuk membeli obat di luar rumah sakit, dalihnya stok obat yang dibutuhkan pasien kerap habis.

"Saya selalu mendapatkan resep tambahan untuk membeli obat di apotik di luar rumah sakit Prima Medika. Di awal bulan lalu (Agustus 2023) hanya dikasih obat untuk satu minggu. Sisanya untuk 23 hari lagi dikasih resep untuk beli di apotik luar, saya tidak reimburse (menggantikan uang) ke rumah sakit. Sekarang di bulan September 2023 malah bertambah menjadi 2 macam obat, dikasih resep untuk beli di apotik luar, yaitu jenis Clopidogrel dan Rosuvastatin," katanya ditemui Media Bali, Senin (25/9) lalu.

Diketahui resep obat Clopidogrel dan Rosuvastatin, ditulis tertanggal Senin (18/9) lalu oleh inisial dr. JRA yang menanggani spesialis jantung. Kemudian tertanggal Senin (25/9) diketahui Parsua akhirnya terpaksa menukarkan resep dimaksud ke apotik di luar RS Prima Medika, dengan nilai pembayaran obat sebesar Rp191.014.,-

Bukan nilai resep obat yang dikeluhkan Parsua, akan tetapi persoalan tambahan resep obat yang harus dibeli Parsua ke luar RS Prima Medika ini menimbulkan ketidaknyamanan terhadap dirinya, sehingga dirasa perlu dipertanyakan kembali ke RS Prima Medika, sebagai RS yang berdiri di Jl. Raya Sesetan No. 10, Denpasar.

Berdasarkan Permenkes Nomor 28 Tahun 2014 tentang pedoman program pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional terkait Indonesian Case Based Group (INA CBGs) BPJS Kesehatan, di mana pembayaran ke RS dilakukan dengan sistem paket, sudah termasuk biaya ruangan, biaya obat, periksa dokter, makan, dan lain-lainnya.

Sehingga dinilai menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyiapkan semua jenis obat sesuai Formularium Nasional (Fornas) BPJS Kesehatan. Kemudian, terhadap RS yang belum melakukan mekanisme mengembalikan uang tersebut, diharapkan segera menyusun dan menetapkan mekanisme pengembalian, sehingga semua pasien yang membeli sendiri semua obat di luar rumah sakit uangnya dikembalikan. 012
 


TAGS :