Peristiwa

Ipung Lawan PT BTID, Tergugat Giring Opini Tanah Hilang Tak Bisa Disertifikat?

 Senin, 29 April 2024 | Dibaca: 221 Pengunjung

Tampak sidang di PN Denpasar dihadiri penggugat Advokat Siti Sapurah, SH., alias Ipung dan satu saksi warga asli Serangan inisial IWS, Senin (29/4/2024).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Sidang perkara gugatan Advokat Siti Sapurah, SH., alias Ipung selaku penggugat terhadap tergugat PT Bali Turtle Island Development (BTID), berlanjut dengan menghadirkan saksi ketiga inisial IWS (50) untuk menjelaskan objek sengketa.

Pengugat Ipung sebelumnya, Senin (22/4/2024) telah menghadirkan dua saksi Made Subamia (66) dan Ketut Suardana (59) untuk berbicara lantang soal objek sengketa dihadapan Hakim Ketua Gede Putra Astawa, SH., MH.

Menurut Ipung, kali ini saksi IWS telah secara tegas dan lugas menjelaskan terkait tanah Daeng Abdul Kadir dan mana tambak milik Haji Moh. Anwar. Termasuk keberadaan PT BTID yang masuk ke Pulau Serangan mulai Tahun 1987, lalu mereka melakukan reklamasi dari Tahun 1998 seluas 480 Hektar.

"Persepsi para tergugat dia ingin menyimpulkan jika seseorang mempunyai tanah 112 Are, lalu setelah disertifikat 94 Are dan sisanya hilang. Mana aturanya yang bisa membuat hilang tanahnya? Nah, kondisinya saya dan keluarga saya masih menguasai tanah itu. Kedua, ada surat dari BPN saat penelitian lokasi, saya mengajukan keberatan atas SHGB 82 atas nama PT BTID, dikatakan bahwa setelah dilakukan penelitian lokasi ternyata penerbitan SHGB 82 tidak sesuai dengan milik tanah yang dimiliki atas jual beli Moh. Anwar dengan PT BTID Tahun 1993. Tapi, dia (tergugat) menyatakan tidak sesuai dengan tanah Abdul Kadir yang luasnya sekitar 200 are," kata Ipung.

Menurut Ipung bahwa setelah dilakukan penelitian lokasi BPN ditemukan bahwa SHGB 82 yang luasnya 647 meter persegi berasal dari Pipil 186 yang luasnya 11.200 milik Abdul Kadir.

"Bahwa setelah dilakukan penelitian lokaso dijelaskan bahwa penerbitan SHG 82 tidak sesuai dengan kronologis yang diberikan oleh BPN Provinsi Bali kepada BPN Kota Denpasar. Jadi artinya apa? 647 meter itu adalah miliknya Abdul Kadir. Saya heran mereka (tergugat) baca kalimatnya sepotong dan tidak secara utuh," bebernya.

Ipung menanggapi kehadiran saksi ketiga, IWS yang berasal dari Banjar Peken, Pulau Serangan, menjelaskan adanya sumur satu-satunya yang ada di Pulau Serangan.

"Saksi tentu sudah mengetahui siapa Abdul Kadir, termasuk objek sengketa yang dulu adalah tanah yang dibuat melintas warga untuk datang ke sumur yang ada di kawasan PT BTID saat ini. Itu cuman ada satu-satunya sumur yang ada di Pulau Serangan dan kita melewatinya dari Utara ya. Jadi artinya tanah yang menjadi objek sengketa adalah memang tanah, bukan tambak seperti asumsinya (T1) PT BTID adalah tambah milik H. Moh Anwar," terang Ipung.

Lanjutnya, objek sengketa berada di sebelah Barat Kanal, sedangkan setahu Ipung Kanal dimaksud adalah pemisah. "Coba datang ke Pulau Serangan, Kanal ini adalah bagian dari laut sampai ke Selatan, sampai pintu masuk ke Pulau Serangan. Warga itu disekat, jadi artinya ada bagian PT BTID yaitu di sebelah Kawasan Timur Kanal dan warga di Kawasan sebelah Barat Kanal," bebernya.

Saksi ketiga, IWS mengatakan mengetahui sumur satu-satunya yang sering dicari warga Serangan. "Ya saya tahu letak dan ingat ada sumur satu-satunya dicari warga Serangan untuk mencari air. Kondisi Serangan sebelum direklamasi PT BTID juga tahu, termasuk sampai ada aksi penutupan jalan saya tahu dan melihatnya," katanya di hadapn hakim ketua.

PETA OKUPASI
Sidang sebelumnya, Senin (22/4) Ipung menyiapkan Peta Okupasi yang dibuat PT BTID pada Tahun 2018 dalam kasus Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas akses jalan di lingkar timur Pulau Serangan, Denpasar Selatan.

"Kami tadi hanya ingin saksi mempertegas objek sengketa yang sekarang dijadikan akses jalan dan juga di Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) adalah bagian dari Pipil 186 Persil Nomor 15c, yang luasnya 1 Hektar 12 Are. Kedua saksi adalah warga Serangan, mereka tahu ke mana tanahnya Daeng Abdul Kadir, dan mana tambak milik Haji Moh. Anwar. Saksi-saksi ini juga bagian dari korban, yang tanahnya juga di SHGB oleh PT BTID," ujar Ipung.

Sidang Pemeriksaan Setempat (PS) ditanggapi Ipung ke depan sangat baik, di sini Hakim Ketua bersama penggugat dan tergugat akan melihat langsung objek sengketa.

"Saya senang, kalau dilakukan PS ya tentu supaya jelas. Supaya hakim juga paham, mana sih tanahnya Daeng Abdul Kadir, mana sih lokasi laut dan tambak yang menjadi SHM 26 yang selama ini diklaim oleh PT BTID, bahwa jalan terkait adalah pemekaran dari SHGB 41 yang merupakan jual beli dari SHM 26 Tahun 1993. Nah, SHM-nya itu loh yang dimekarkan, masak sih ada tambak belok sampai ke atas. Sedangkan, aaksi kami tegas mengatakan tambak kami ada di Selatan, sebelum tambak ada manggrove dan laut," bebernya.

Sementara itu, saksi 1 Made Subamia mengatakan memberikan kesaksian letak tambak dan jalan yang menjadi persoalan.

"Memang dulunya itu kan tanah milik Maesaroh, di sampingnya ada laut dan tambak. Diduga tanahnya kurang dibikin jalan oleh PT BTID, ditimbun-timbun PT BTID, yang dibawahnya memang dia yang punya (Maesaroh)," ucapnya. "Tidak saja Ipung, tanah saya 7 Are juga dikuasai PT BTID dan dijual (Pak Johan-red), lalu di HGB-kan, kan saya ngak bisa ambil. Sekarang saya tuntut juga. Johan menjual ke PT BTID, lalu diduga membeli ke PT BTID sisa tanah saya, ini saya tuntut," tegasnya.

Kesaksian pembuatan jalan di tanah objek sengketa juga diberikan saksi 1 Ketut Suardana bahwa sejak kecil mengetahui akses tanah. "Ada laut dulu Pak Haji Anwar disekat menjadi tambak. Lalu diduga tambak itu di HGB-kan oleh PT BTID apa dasarnya? Setahu saya tambak itu adalah bagian dari laut, kenapa bisa di HGB kan? Orang Serangan memiliki budaya jujur, ngak ada orang Serangan maling tanah warga. Sejatinya, banyak warga Serangan yang hilang. Termasuk tanah saya di Pipil ada 91 Are, dibayar 80 Are dibayar, sisanya 19 Are itu di HGB-kan oleh PT BTID, kita mau sertifikatkan tetapi tidak bisa," keluhnya.

WILAYAH PT BTID?
Peta Okupasi itu ditandatangani BPN Kota Denpasar, Walikota Denpasar, hingga para pimpinan PT BTID sendiri. Dari Peta Okupasi ini menjelaskan di mana wilayah PT BTID dan wilayah warga masyarakat Serangan.

"Kanal ini dari laut, di mana fungsinya dalam MoU 2018 adalah sebagai batas, batas PT BTID di sebelah Timur kanal dan kawasan pemukiman warga di sebelah Barat kanal. Nah, tanah saya di sebelah Barat Kanal, bagaimana dia akan menyangkal Peta Okupasi yang dia punya. Artinya dia sudah menjelaskan sendiri posisi tanahnya di mana," kata Ipung.

Ipung menaruh curiga mengapa PT BTID bersikeras mempertahankan tanah miliknya yang hanya seluas 7 Are, sedangkan mereka dari Tahun 1998 telah mereklamasi mencapai sekitar 480 hektar.

"Saya juga akan lampirkan mengenai Peta Data Fisik Desa Serangan. Ini juga tidak bisa diganggu gugat, karena sudah dari dulu ada. Bagaimana dia menggugat tanah fisik, sedangkan PT BTID masuk ke Pulau Serangan mulai Tahun 1987, lalu mereka melakukan reklamasi dari Tahun 1998 seluas 480 Hektar. Kalau saya berhasil mengambil hak saya secara hukum (tanah 7Are), maka tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tanahnya 'dicaplok' PT BTID, akan bangun ikut mengugat tanahnya yang semua sudah di SK GB," bebernya.

Lanjut Ipung, SK GB yang tadinya sudah mati karena hanya bertahan 30 Tahun, 23 Juni 1993 - 23 Juni 1993, Ipung juga sudah mengajukan bukti-bukti surat.

"Saya mengajukan bukti keberatan ke Walikota Denpasar, tanggal 17 Mei 2022, pada tanggal 27 Juni 2022 dijawab suratnya bahwa di atas tanah objek sengketa ini ada SK GB 81, 82, 83 atas tanah PT BTID. Saya keberatan atas diterbitkannya SK GB 81, 82, dan 83 ini karena berdiri di atas tanah milik Abdul Kadir, dengan bukti Pipil. Saat di lokasi, PT BTID tidak dapat menunjukkan objek di mana tanah miliknya," tegasnya.

Ipung menjelaskan tanahnya yang diklaim PT BTID. Diketahui tanah milik almarhum Daeng Abdul Kadir yang merupakan ayah dari Siti Sapurah, sebelumnya telah membeli tanah dengan Pipil Nomor 2 Persil No. 15a, Akta Jual Beli Nomor 28/57, yang mana dibeli dari Sikin (almarhum) dengan pembeli Daeng Abdul Kadir, pada Tahun 1957. Daeng Abdul Kadir sebelumnya meninggal Tahun 1974.

“Saat itu, Daeng Abdul Kadir adalah Kelian Dinas Banjar Kampung Bugis, yang juga membentuk Banjar Kampung Bugis di Desa Serangan. Kenapa ada Kampung Bugis? Karena Bapak saya adalah pemilik anak buah kapal, ada tiga kapal Bugis dia miliki, semua anak kapalnya ada 9 orang tinggal di situ,” tegasnya. 012


TAGS :