Peristiwa

Agung Aryawan Dukung 'Spa Esek-esek' Kena Pajak 40% - 75%, Jaga Generasi Muda dari Resiko HIV/AIDS

 Rabu, 17 Januari 2024 | Dibaca: 280 Pengunjung

Anak Agung Gede Agung Aryawan selaku pengamat sosial politik di Bali.

www.mediabali.id, Denpasar. 

Anak Agung Gede Agung Aryawan selaku pengamat sosial politik di Bali mencermati kebijakan pemerintah pusat melahirkan UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dinilai sudah tepat memasukan Spa ke dalam kategori hiburan. Hal ini terutama menyasar pengusaha dan pelaku Sante Par Aqua (SPA) di Pulau Dewata.

Bali sebagai daerah pariwisata, tentu sangat banyak pengusaha SPA ramai-ramai melakukan penolakan mengenai ditetapkannnya pajak SPA paling rendah 40% dan paling tinggi 75%, dalam kaitan disahkannnya UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disahkan di Jakarta oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 5 Januari 2022 dan Undang-undang ini ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4.

"Ini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) manusia Bali. Pajak naik 40-75% juga menjaga manusia Bali ke depan dari bahaya Spa bodong yang diduga masih banyak belum berizin di Bali, Spa model begitu diduga kerap menawarkan jasa 'plus-plus'," ungkapnya, Rabu (17/1/2024) ditemui di Denpasar.

Agung Aryawan menyatakan kemudahan jasa Spa plus-plus, kerap membuat kalangan generasi muda tergiur dan berimbas terhadap dampak HIV/AIDS. Bilamana masalah tersebut didiamkan dan generasi muda Bali semakin banyak terkena HIV/AIDS akan semakin banyak dan mempengaruhi regenerasi manusia Bali.

"Kalau terus dibiarkan, Bali ini bisa 'habis' generasi muda. Apabila kasus HIV/AIDS terus meningkat dan sekarang ini upah tenaga kerja kita di Bali sangat rendah," beber Caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Denpasar dari Partai Perindo ini.

Namun begitu, Agung Aryawan juga menyakini Spa di Bali masih tetap mengedepankan kaidah-kaidah layanan terhadap pelanggannya untuk memperoleh wellness atau kesehatan terapi massage. Kegiatan Spa sejatinya adalah bagian dari health tourism, yaitu kegiatan welness (kebugaran). "Tapi, dibalik persoalan itu saya yakin masih banyak Spa yang juga mengedepankan kaidah-kaidah Spa sesuai aturannya," tegasnya.

Salah satu mantan pemilik Spa di Jalan Tukad Badung, Panjer, Denpasar, berinisial K mengatakan kepada Media Bali pernah membuka usaha Spa dengan kedok pijat tradisional yang menawarkan jasa pijat tenaga wanita muda. Di balik jasa pijat tradisional, dia menawarkan kepada pelanggannya untuk dipijat plus-plus dan esek-esek.

"Memang benar ada hal itu, kalau pelanggan mau tambahan pijat plus-plus wanita muda dan tergantung harga kesepakatan. Ini riil, sejak saya buka Spa, tapi di dalamnya ada tambahan pijat plus, jika sepakat pelanggan harus membayar tambahan harga. Sekarang usaha Spa saya sudah tutup di Jalan Tukad Badung, Panjer, Denpasar," kata sumber inisial K.

Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjok Bagus Pemayun dalam wawancara dengan sejumlah awak media mengatakan Spa supaya tidak masuk kategori hiburan, sebab pajak sekitar 40% - 75% memberatkan pelaku dan pengusaha Spa di Bali. Hal ini dikhawatirkan akan 'memukul' kedatangan tamu yang hendak mendapatkan layanan Spa ke Bali, sehingga perlu adanya revisi terhadap UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

"Kalau sudah ada aturan Pajak 49-75% sudah masuk hiburan, berarti kan pelaku dan pengusaha Spa kena pajak itu. Padahal UU 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata, Spa itu masuk ke dalam pariwisata, begitu juga di Kemenkes bahwa Spa itu masuk dalam kesehatan. Kami lakukan kajian lagi bahwa Spa tidak masuk hiburan. Asosiasi Spa mereka menolak Spa dan Yoga masuk ke dalam hiburan. Termasuk pajak 40-75% mereka juga keberatan, di mana selama ini mereka dibebankan 15%. Kami inginkan Spa tidak masuk kategori hiburan, begitu saja," tegas Cok Pemayun.

Data dihimpun Dinas Kesehatan Bali, kasus HIV/AIDS di Bali bertambah 100 sampai 120 tiap bulan. Mereka yang terkena HIV/AIDS di Bali kebanyakan kasus terjadi pada warga berusia 15 sampai 59 tahun menurut Kepala Dinas Kesehatan setempat.

Sumber Kantor berita Antara menyebutkan, pada 2 Desember 2019 bahwa Kepala Dinas Kesehatan Bali, Ketut Suarjaya telah mengingatkan masyarakat Bali apabila kasus HIV/AIDS seperti fenomena gunung es. Sebab yang tampak dipermukaan hanya merupakan bagian kecil dari seluruh bagiannya.

"Perlu diingat dan disadari, dari estimasi jumlah kasus yang ada secara epidemiologi sekitar 31 ribu di Bali dan kasus ini seperti fenomena gunung es di mana ada yang muncul di permukaan yang kelihatan baru 22.034 sehingga ada 9.000 kasus yang masih ada di bawah permukaan," ujarnya.

Bahkan, kasus HIV/AIDS telah berupaya dicegah pemerintah. Hal ini untuk menemukan 9.000 kasus yang belum terdeteksi, antara lain dengan melakukan pemeriksaan pada orang-orang yang berisiko tertular AIDS. Pemerintah sudah melakukan langkah lainnya dengan menyediakan layanan  tes HIV sukarela hingga di tingkat puskesmas.

Tercatat secara kumulatif dari tahun 1987 sampai November 2019 ada 22.034 kasus HIV/AIDS di Bali, 1.111 di antaranya berasal dari luar Bali.

Di Bali, kasus HIV/AIDS paling banyak ditemukan di Kota Denpasar (8.287) disusul Kabupaten Badung (3.706), Buleleng (3.150), Gianyar (1.603), Tabanan (1.305), Jembrana (1.128), Karangasem (834), Bangli (460), dan Klungkung (446).

Menurut Ketut Suarjaya, hampir 80 persen kasus HIV/AIDS di Bali terjadi pada warga berusia 15 sampai 59 tahun yang secara seksual aktif.

Pihaknya berharap pentingnya pemeriksaan HIV sukarela dalam pencegahan dan penanganan kasus dan menganjurkan pasangan yang berisiko terinfeksi HIV mengikutinya. HIV utamanya menular melalui kontak cairan tubuh dan penggunaan jarum suntik secara berganti-ganti. 012


TAGS :