Peristiwa

Kebijakan Pajak 40% - 75% Ditolak Pengusaha Spa di Bali, Keadilan Pemerintah Diuji Masyarakat

 Sabtu, 13 Januari 2024 | Dibaca: 261 Pengunjung

Banyak pihak bergantung di usaha Spa, pemerintah diminta tegas mengkaji ulang dan membatalkan kebijakan pajak 40% s.d. 75% yang diklaim akan mematikan usaha Spa di Bali, Jumat (12/1/2024).

www.mediabali.id, Badung. 

Kekhawatiran atas disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diharapkan menarik simpati pemangku kebijakan terhadap eksistensi pengusaha dan pelaku SPA di Bali.

Polemik di tingkat bawah, pengusaha dan pelaku Spa yang tergabung dalam komunitas Bali Spa Bersatu memperjuangkan bisnis mereka. Selain mampu menjadi salah satu penunjang pariwisata Bali, Spa sangat diminati tamu-tamu mancanegara. Mereka tidak saja melancong melihat alam dan kultur di Bali, tetapi mencari rileksasi dan kedamaian lewat Spa.

Komunitas Spa Bali Bersatu berupaya mengembalikan definisi di bidang usaha SPA sesuai dengan KBLI 2020 berlandaskan standar internasional dan penolakan mengenai ditetapkannnya pajak SPA paling rendah 40% dan paling tinggi 75%, dalam kaitan disahkannnya UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disahkan di Jakarta oleh Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 5 Januari 2022 dan Undang-undang ini ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4.

Koordinator Unit Substansi Promosi Dinas Pariwisata Provinsi Bali I Ketut Yadnya Winarta, SS., M.Par., mengatakan sejatinya Spa atas pandangan praktisi adalah bagian health tourism.

"Sebenarnya bukan terkait pajak, akan tetapi ada perbedaan persepsi terkait kegiatan Spa. Menurut para praktisi Spa, kegiatan Spa adalah bagian dari health tourism, yaitu kegiatan Welness (kebugaran)," ujar Yadnya, Jumat (12/1/2024).

Lanjut Yadnya, tidak memungkiri Spa diminati Wisman dan Wisdom di Bali. Bahkan, meski sempat tersendat karena pandemi Covid-19, bisnis Spa cukup cepat bangkit, diiringi tingkat kunjungan di hotel-hotel di Bali. Spa juga mampu menggaet tenaga kerja lokal Bali, yang diyakini mampu memberikan pendapatan terhadap warga lokal pekerja Spa.

"Saat ini Spa masuk ke kategori hiburan. Dispar Bali sedang membuat kajian terkait Spa yang dimasukkan kategori hiburan. Kajian akan dikirim secara pararel baik dari Pemprov Bali maupun dari pelaku industri ke pemerintah pusat," tegas Yadnya.

Salah satu pelaku dan pengusaha Spa di Bali, Debra Maria Rumpesat selaku General Manager Taman Air Spa mengatakan Spa orang Indonesia dinilai paling laku dan paling dicari. Debra menyakini hati dan tangan terapis Indonesia, terutama dari Bali memiliki seni.

"Kami merumuskan apa itu Spa, di mana pilar Spa itu adalah massage, terapi dan aroma terapi. Jadi itu semua ada keilmuannya. Selama 31 Tahun saya dibidang Spa,  apabila terapis menjadi profesi paling terakhir yang diminati untuk menjadi Spa terapis. Sebab, pijat itu kan capek ya, apalagi pijat jenisnya macam-macam. Bergulirnya waktu, Spa ada badannya dan terapis ada wadah dan sertifikasinya," ucapnya.

Debra pada bisnis Spa yang dia miliki sampai saat ini membutuhkan tenaga-tenaga baru Spa. Sebab, terapis Spa ahli dimiliki asal Indonesia banyak bekerja di luar negeri.

"Spa terapis kita banyak bekerja ke luar negeri. Di luar negeri income-nya besar dan sangat dihargai. Tapi di sini, gajinya UMK, itu pun intensif atau komisinya harus besar, kalau ngak ngitu mereka ngak mau menjadi terapis. Artinya apa, begitu ada aturan pajak 40% ini tentu saja kami bisa gulung tikar. Saya sebagai pengusaha Spa ini trauma loh, kejadian itu saat (dampak erupsi) Gunung Agung, pandemi Covid-19 hampir 3 Tahun, kami trauma banget dan sebagai pengusaha kami menangis," tegasnya.

Kenaikan pajak 40% s.d. 75%, bagi Debra merasa down dan berpikir lebih jauh mengapa pemerintah tega terhadap pengusaha Spa, terutama di Bali yang sangat mengantungkan hidup dari pariwisata Spa.

"Kita baru bangkit loh dari pandemi, saat itu Spa kita tutup. Itu kerugian besar bagi kami, apalagi alat banyak yang rusak, berhutang kepada suplayer dan listrik jalan terus. Mengapa pemerintah memasukan Spa ke dalam kategori hiburan. 31 Tahun saya berjuang di sektor Spa, justru Spa ini dimasukan ke dalam kategori hiburan," bebernya.

Perwakilan dari Kabupaten Gianyar I Ketut Sudata Yasa perwakilan Ubud Wellness menyampaikan menolak keras pajak 40% s.d. 75% karena dinilai ke depan akan mempengaruhi banyak sektor, baik suplayer, laundry, termasuk dikhawatirkan para terapis akan kabur ke luar negeri.

"Kami harap pemerintah membuat kebijakan supaya membatalkan pajak 40% s.d. 75%, supaya SPA tidak masuk kategori hiburan. Kami menolak pajak SPA naik 40%, apalagi kami sudah lama berkecimpung di bidang Spa, yang mana juga kami memiliki Spa akademi yang sangat diminati banyak pihak," terang Ketut.

Tidak pungkiri banyak pihak yang menggantungkan hidup di usaha Spa di Bali. Inilah yang menjadi kegelisahan para pengusaha Spa di Bali.

"Spa ini bukan isapan jempol semata, buka sekadar isu bisa. Spa itu adalah kesehatan fisik dan mental, kesehatan, energi termasuk spiritual. Tolong pengambil kebijakan batalkan ini, keluarkan Spa dari kategori hiburan," pungkasnya. 012

 


TAGS :