Peristiwa

Temuan HGB Nomor 81, 82, dan 83, Ipung Segera Ajukan Gugatan Tanah ke PN Denpasar

 Jumat, 26 Agustus 2022 | Dibaca: 538 Pengunjung

Tampak tanah berkekuatan hukum tetap (inkracht) milik Ipung di Pulau Serangan,. Sebelumnya ia siap akan ajukan gugatan ke PN Denpasar, Jumat (26/8/2022).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Areal tanah milik praktisi hukum Siti Sapurah, SH., yang diaspal hotmix di wilayah Serangan Denpasar Selatan (Densel), akan berlanjut gugatan ke tingkat Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.

Siti Sapurah yang akrab disapa Ipung, sebelumnya memperoleh Surat Nomor 180/530/HK dari Walikota Denpasar, IGN Jaya Negara, point 1. Berdasarkan informasi dari Kantor Pertanahan Kota Denpasar pada rapat koordinasi di Kantor Walikota Denpasar tanggal 24 Juni 2022 dan Aplikasi Sentuh Tanahku Badan Pertanahan Nasional, Jalan Tukad Punggawa berdiri diatas Hak Guna Bangunan Induk Nomor 41 Tahun 1993 (Hak Guna Bangunan Nomor 81, Nomor 82, dan Nomor 83) atas nama PT Bali Turtle Island Development (PT BTID); 2. Dalam rangka pelestarian dan pengembangan pariwisata di Kawasan Pulau Serangan sesuai perjanjian antara PT Bali Turtle Island Development dengan Masyarakat Kelurahan Serangan Nomor 046/BTID-MoU/1998, bahwa kedua belah pihak sepakat untuk mengatur tentang fasilitas jalan lingkar di Kelurahan Serangan. 

Ipung merasa masyarakat Serangan merupakan saudaranya, jalan hukum akan dipilih agar masyarakat tidak susah atau terganggu. Dimana proses hukum ke pengadilan dilakukan untuk mengambil tanah ini secara sah sesuai hukum berlaku. 

“Gugatan PN Denpasar mungkin PT BTID yang pertama dan Kedua Desa Adat, Bapak I Made Sedana, karena dia mengajukan hotmix tanah saya pada Tahun 2016, dan ketiga turut tergugat BPN Kota Denpasar, karena dia mengeluarkan produk HGB 81 82 dan 83,” terang Ipung, saat ditemui awak media di lokasi tanahnya di Pulau Serangan, Jumat (26/8/2022).

Sebelumnya, pada Jumat, 29 Juli 2022 Ipung sempat pula diundang BPN Denpasar secara resmi perihal mengklarifikasi data-data atas tanahnya.

“Saya bawa semua dokumen, 15 putusan asli Tahun 1974 sampai dengan Tahun 2020, 15 putusan ini mengatakan tanah ini milik Daeng Abdul Kadir atau ahli warisnya. Saya juga bawakan pipil fotocopy yang 1 Hektar 12 Are dan pajak 2 hektar 14 are, termasuk saya bawa foto peta gambar tanah saya kepada BPN Denpasar,” tegasnya lagi.

Ia memaparkan secara logika hukum, jelas sertifikat HGB tidak bisa memiliki tanah seumur hidup, dimana tidak ada bedanya dengan kontrak sewa.

“Pertanyaan saya sekarang, bagaimana tanah ini bisa di HGB-kan? Padahal Tahun 1993 PT BTID belum melakukan reklamasi Pulau Serangan. Bahwa HGB 81 82 83 baru saya ketahui setelah Walikota menjawab surat keberatan saya yang tanggal 17 Mei 2022 dan pada 27 Juni 2022 baru Pak Walikota menjawab tanah ini bukan berdasarkan SK Walikota Tahun 2014, tetapi mengatakan tanah ini adalah HGB BTID No 81 82 dan 83, akhirnya saya mengajukan keberatan ke BPN. Keberatan saya ke BPN adanya HGB 81 82 83 di atas tanah saya,” ungkapnya. 

Menurutnya lagi, segera setelah BPN melihat dokumen-dokumen tanah milik Ipung memang sah dan memang dia selaku pemilik secara dokumen, BPN menyatakan dan memberikan informasi yang selama ini Ipung tidak ketahui, faktanya HGB 81, 82, 83 yang atas nama BTID adalah pecahan dari HGB nomor 4 yang diterbitkan pada Juni 1993 dan akan berakhir 30 tahun ke depan, persisnya pada bulan Juni 2023 ini.  

“Lalu mengapa dijadikan HGB 81 82 83 ? untuk mengaburkan HGB Nomor 4, akhirnya di Tahun 2016 dan 2017, BTID pernah mengatakan ada tanah eksekusi berdasarkan SK MENLH Tahun 2015, maka itu Tahun 2016 dan 2017, HGB Nomor 4 yang awalnya diterbitkan Juni 1993 dipecah untuk menutupi HGB Nomor 4. Nah sekarang siapa yang berbohong?,” tanya Ipung tegas. 

Ia menduga ada sindikat mafia tanah yang bermain di sini, karena bagaimana mungkin tanah Ipung dapat di HGB selama 30 Tahun tanpa konfirmasi kepada keluarganya dan ada ahli warisnya sebelum Ipung. 

“Bahkan saya yang memegang sertifikat dari dulu dan tidak ada yang tahu sampai sekarang. Berarti tanah ini ‘sengaja dicaplok’ oleh pihak-pihak tersebut, berarti dialah yang menikmati kompensasi selama 30 tahun. Ini yang akan saja kejar nanti di pengadilan,” terangnya.  

Untuk diketahui, Ipung menjelaskan tanah lingkar seperti yang di berita acara penyerahan lahan untuk tanah atas sebagai jalan, dari PT BTID sebagai pihak pertama dan kepada desa adat sebagai pihak kedua, adalah tanah lingkar dari pintu masuk Pulau Serangan depan jembatan, melingkar di tepi Pulau Serangan di jalan tanah yang diurug sebagai jalan sampai berhenti di penangkaran penyu yang panjangnya 2 hektar 115 Km itu jalan lingkar, maka itu menjadi pertanyaan besar jalan lingkar lompat ke areal tanah Ipung. Seperti disebutkan Desa Adat bahwa tanah ini (sebelum diaspal) dulu jalan setapak, sebagai jalan tetapi bukan untuk diminta diambil.

Sementara itu, I Nyoman Kemuk Antara Prajuru Desa Adat Serangan mengatakan terbentuknya areal jalan diperkirakan Tahun 2005, sebelumnya pula belum ada terbentuk jalan aspal, tetapi berupa tanah daratan dengan tanah milik masyarakat menyatu.  

“Nah, di wilayah karena sudah ada jalan melingkarnya, tetapi di kawasan titik ini (sekitar tanah Ipung) masih terputus, sehingga untuk menyambung terbentuknya jalan lingkar, desa membentuk tim pembuatan jalan swadaya sekitar Tahun 2005,” katanya di lokasi tanah milik Ipung. 

Konon dari tim swadaya Desa Serangan, kata Kemuk, di mohonkanlah lokasi ini sepanjang yang dia ketahui oleh Ibu Haji Prema. Di sebelahnya juga sudah terbentuk jalan yang dibuat oleh Bapak Wayan Dana, sampai terbentuk jalan, ada jalan setapak yang lebarnya seperti jalan aspal saat ini.  

“Seiring waktu, Tahun 2016 di mohonkanlah pengaspalan ke pemerintah, terkait dengan tanah ibu Maisarah secara dokumen luasnya 1 hektar 12 are, saat itu kita belum tahu batas-batasnya. Mengacu Peta Desa Serangan, semua sudah jelas, maka adanya klaim BTID lewat Hak Guna Bangunan (HGB) ini yang saya tidak memahami kenapa BTID sampai memegang HGB tanah hingga ke areal sebelah selatan,” katanya.

Bahkan, Kemuk mengaku sempat bersama Ipung mengecek ke BPN Denpasar atas dugaan adanya HGB.

“Kami cek ke BPN, kami terkejut kenapa BTID memegang HGB, ini yang perlu kita telusuri, apa dasarnya ini. Mari kita duduk bersama untuk mencari solusi, BTID memegang HGB apa ada dasarnya? Kalau Ibu Maisarah, Haji Prema, itu memang ada dasar pipilnya,” tegasnya.

Tantangan Ipung
Di sisi lain, Ipung menantang pihak yang merasa telah ‘mancaplok’ tanahnya. Bahkan, dia tidak ragu akan melayani tantangan hingga ke Mahkamah Agung.

“Saya hanya ingin menantang, ambilah tanah jika kalian bisa batalkan putusan sampai Mahkamah Agung, itu permintaan saya dan itu tantangan saya untuk BTID,” terangnya.

Namun begitu, Ipung masih memiliki pemikiran positif untuk BPN Kota Denpasar dan pihak terkait lainnya, ingin menyelesaikan secara kekeluargaan.
Sebab, secara hukum Ipung adalah yang memiliki hak yang sah dan telah ditetapkan oleh pengadilan (PN/PT/MA) ada 15 putusan dimiliki sejak Tahun 1974 hingga Tahun 2020 dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). 

“Oke saya akan ikuti. Karena saya sudah terlanjur bersurat pada tanggal 16 Juni 2022, tahapan saya akan ikuti, tetapi jika deadlock, saya akan terpaksa mengajukan gugatan ke PN Denpasar atau tidak menutup kemungkinan saya akan ajukan penyerobotan atas tanah dengan Pasal 385 KUHP,” pungkasnya. 012


TAGS :