Ajeg Bali

Membaca Kearifan Air, Mengalirkan sampai ke Hilir

 Selasa, 14 Juni 2022 | Dibaca: 261 Pengunjung

www.mediabali.id,

Pergelaran “Catur Kumba Mahosadhi” Kolaborasi ISI Denpasar dan Komunitas Usadhi Lango

Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang berkolaborasi dengan Komunitas Usadhi Lango mempersembahkan sendratari bertajuk “Catur Kumba Mahosadhi” sebagai pergelaran pembuka Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 “Danu Kerthi: Huluning Amreta—Memuliakan Air Sumber Kehidupan” di Panggung Terbuka Ardha Chandra Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu (12/6) malam.

IK Eriadi Ariana


GERIMIS di kawasan Panggung Terbuka Ardha Candra Denpasar, Minggu (12/6) malam membuat sejumlah penonton pergelaran (rekasadana) perdana PKB ke-44 waswas. Ada rasa khawatir di hati kecil mereka jikalau hujan turun mengguyur panggung terbuka. Mereka bisa “balik kanan” sebelum pentas digelar, meluruh-kan kerinduan menyaksikan pementasan kolosal yang telah lama dinanti-nanti. 

Salah seorang penonton yang merasakan hal itu adalah I Wayan Asta, Petajuh Desa Adat Batur. Malam itu, ia hadir mewakili Pemucuk Desa Adat Batur, Jero Gede Batur sebagai undangan dari unsur desa adat. Sebagaimana dikatakan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Gede Arya Sugiatha, dua hari sebelumnya para pimpinan desa adat di Bali diundang khusus menyaksikan pergelaran perdana PKB ke-44. Selain pemimpin desa adat, panitia juga men-gundang unsur perguruan tinggi se-Bali.

Guru Asta, panggilannya, mengaku sangat antusias hadir di tempat itu. Selain didorong euforia untuk menyaksikan langsung pergelaran kolosal PKB yang pertama setelah gempuran pandemi, ia juga menunggu pergelaran sendratari “Catur Kumba Mahosadhi”. Baginya yang merupakan masyarakat dan prajuru adat Batur, pementasan itu bukan saja bermakna estetis, tapi juga etis. Menurutnya, orang Batur tidak bisa berpisah dengan berbagai hal tentang danau, bagian sad kreti yang spiritnya diambil pada PKB ke-44.

“Saya menunggu pementasan ini untuk belajar, membaca dan bercermin tentang kearifan Danau Batur. Apalagi, saya dengar pentas ini diambil dari mitos Ratu Ayu Mas Membah,” akunya kepada Media Bali.

Setelah menyaksikan pementasan kolosal itu, Guru Asta mengaku tersentuh. Batinnya sempat bergetar, melihat seniman memainkan peran Bhatari Ayu Mas Membah yang dipujanya dalam riuh ritus sepanjang tahun. Bhisama Batur Kalawasan yang menghentak di bagian akhir cerita disebut-sebutnya sebagai kunci pentas malam itu.

“Saya sempat merinding, terutama ketika mendengar nyanyian Sadhyang Panji dan pembacaan Bhisama Batur Kalawasan. Meski mirip dengan pentas sejenis yang sempat saya tonton, tapi bagi saya ada spirit baru yang muncul, menjadi pent-ing bagi saya dan kita semua,” katanya.

Sejurus dengan visi Pemerintah Provinsi Bali, ia mengharapkan pementasan itu dapat membangun gerakan kesadaran pelestarian lingkungan, kemudian mengalirkannya dalam lelaku hidup yang nyata. Ia masih meyakini seni bisa menjadi piranti yang tepat untuk menembus ruang batin manusia yang keras. Seni dapat membangun kesadaran, kemudian menghaluskan budi. “Seperti kata Pak Tito, air itu penting bagi kehidupan, kita harus pintar-pintar mengelola. Semoga lewat seni ini, pesan itu bisa kita laksanakan ke depan,” imbuhnya.

BERANGKAT DARI MITOS
Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana dalam keterangannya, Senin (13/6) menjelaskan garapan “Catur Kumba Mahosadhi” sebagai sendratari yang menggabungkan banyak unsur peradaban air Bali. Garapan tersebut dilatari oleh narasi mitos yang tumbuh dan masih diyakini masyarakat Bali hingga kini. Mitos tersebut adalah ketokohan Ratu Ayu Mas Membah.

Menengok ke belakang, tokoh mitologi ini hidup dalam budaya tulis dan lisan manusia Bali. Lontar Purana Tattwa yang dikeramatkan masyarakat Batur sampai hari ini adalah teks tradisional yang merekam jejak kelana Ratu Ayu Mas Membah. Sementara itu, dalam indung sastra lisan, narasi ini hidup di beberapa tempat di Bali, membentang dari Pegunungan Kintamani hingga ke pesisir Buleleng, termasuk hidup dalam versi mini pada desa-desa di selatan Bali. 

‘Kun’ Adnyana bersama tim kemudian merespons narasi mitologis tentang kemuliaan dan kesucian Danau Batur tersebut dalam garapan seni. Kekuatan tari, ritmis gamelan, mistis gending dan tembang, juga gemerlap tata lampu, efek asap buatan, efek bunyi elektronik, dan teknologi video dipadukan hingga menyatu di atas panggung pementasan.

“Lakon mengisahkan nun jauh di masa lalu, kala Gunung Batur purba meletus. Menjadikan Tampurhyang mengambil jalan tapa samadi, memohon anugerah Bhatara Indra. Bhatara Indra mencipta Danau Batur dan mengamanatkan agar air jernih menyejukkan kehidupan ini, dibagi ke seluruh penjuru Bali. Ratu Ayu Mas Membah membagi air, bertemu kaula dan prajuru negeri,” kata akademisi yang juga berasal dari Bangli itu, Ia menceritakan dalam perjalanannya membagi air Batur, Ratu Ayu Mas Membah mengalami banyak godaan, sehingga bertriwikrama menjadi sosok tua renta. Ratu Ayu Mas Membah juga menganugerahkan manusia Bali tiga buah danau lain untuk menggenapi Danau Batur, sehingga menjadi Catur Kumba atau empat mata air abadi. Ketiga danau yang diciptakan kemudian adalah Danau Buyan, Tamblingan, dan Beratan.

Pada pamungkas adegan, Ratu Ayu Mas Membah menyempurnakan wujudnya sebagai jelita sempurna dalam prabawa Dewi Danuh. Babak akhir ini ditata berkarisma dengan penampilan tarian Sadhyang Panji, tiga barong purbawi, naga, serta tata ca-haya dan efek bunyi elektronik.
Direktur Artistik, Dr Ketut Suteja menjelaskan pergelaran yang menerjunkan 200-an orang seniman lintas fakultas di ISI Denpasar itu telah dipersiapkan kurang lebih selama tiga bulan. Proses penciptaan karya dimulai dengan penyusunan skenario, latihan sektoral, hingga gelar gabungan.

Nuansa sakral juga menjadi perbincangan tersendiri yang mewarnai pementasan “Catur Kumba Mahosadhi”. Pemangku Pura Padma Nareswara ISI Denpasar, Jero Mangku Adi mengatakan topeng Ratu Ayu Mas Membah juga bukan sekadar topeng. Topeng berwarna emas yang dibuat oleh seniman Cok Alit Artawan ini kini disakralkan di ISI Denpasar. Sebelumnya, topeng itu pertama kali dipentaskan di Pura Sega-ra Danu Batur dalam pementasan “Nuwur Kukuwung Ranu”.

“Patapukan atau topeng Ratu Ayu Mas Membah memang merupakan topeng yang disakralkan, sejak pertama dipergelarkan pada acara ‘Nuwur Kakuwung Ranu’ di Jaba Pura Segara Danu Batur, 14 Mei 2022 lalu, sebagai kerjasama ISI Denpasar dengan Yayasan Puri Kauhan Ubud,” kata dia.*


TAGS :