Peristiwa

Tuntutan 2 Tahun dan Kerja Sosial 3 Bulan, Ipung Nilai JPU Tak Adil  

 Kamis, 08 Desember 2022 | Dibaca: 696 Pengunjung

Siti Sapurah, SH., selaku kuasa hukum korban pencabulan menyikapi tuntutan JPU PN Denpasar, dalam perkara FS (17) WNA Jepang atas hukuman 2 Tahun dan 3 bulan kerja sosial, Kamis (8/12/2022).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Terdakwa anak FS (17) merupakan Warga Negara Asing (WNA) Jepang, yang diduga memperoleh perlakuan istimewa sejak kasusnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. 

Praktisi hukum dan pemerhati anak Siti Sapurah, SH., menilai penanganan perkara terdakwa FS atas ancaman pidananya mestinya tidak lagi dijerat Pasal 81 Ayat 2, tetapi Pasal 81 Ayat 5 dengan ancaman minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara. 

Dituangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; 

Disebutkan pada Pasal 81 Ayat 5: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. 

“Dia (Jaksa Penuntut Umum-red) menuntutnya/mendakwa-nya kenapa 2 tahun penjara dan 3 bulan kerja sosial? Loh kok harus jaksanya yang mematok di bawah minimal, harusnya kan hakim yang memutuskan separuh dari ancaman orang dewasa. Loh kok jaksa menjadi pengacaranya terdakwa di sini,” katanya, Kamis (8/12/2022).

Ipung kedepannya akan melaporkan JPU terkait yang menangani kasus perkara terdakwa FS. Ia bersikeras keberatan karena JPU terkait mendakwa terdakwa FS hanya 2 tahun penjara dan 3 bulan kerja sosial.

“Saya akan melaporkan JPU ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan RI di Jakarta, saya tidak mau tahu. Sebab, saya keberatan. Saya hadir di sini sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) melindungi masyarakat dan anak Indonesia, bukan WNA,” katanya tegas. 

Lebih lanjut, Ipung menerangkan dalam sidang Selasa (6/12) lalu, pengacara terdakwa sempat melarang dan keberatan jika Ipung selaku pengacara/kuasa hukum korban hadir di ruang sidang. Disebutkan alasannya sudah digantikan posisinya oleh jaksa. 

“Nah, kalau memang jaksa dipakai untuk menggantikan korban, kenapa menuntutnya di bawah 5 tahun? Nah, sekarang tuntutannya 2 tahun penjara 3 bulan kerja sosial,” tanyanya lagi. 

Sidang online, kata Ipung tentu saja tidak ada alasan pembenar terkait pandemi. Sebab, sidang anak tertutup untuk umum, tidak ada orang yang melihat, lalu mengapa ada sidang online? 

“Lebih parah lagi, korban dan keluarga korban dihadirkan di ruangan sidang. Sedangkan, anak pelaku tidak. Kemudian saksi-saksi semuanya lewat online. Adil tidak buat Indonesia? Saya katakan jelas tidak,” ucapnya. 

Ipung merasa berhak hadir di ruang sidang, dimana untuk mengetahui bagaimana proses persidangan tersebut berjalan dengan jujur dan tidak ada propaganda atau permainan. Ia menduga ada permainan di dalam perkara ini.

Adanya tuntutan penjara 2 tahun penjara 3 bulan kerja sosial, tanpa denda, dinilai Ipung menjadi pukulan bagi anak bangsa Indonesia, aparat Indonesia, dan korban anak Indonesia. Ia melihat sejak awal ada perlakuan istimewa, dari pelimpahan hanya menyerahkan berkas, anak pelaku hanya lewat daring.

“Pernah gak JPU ini melakukan hal istimewa terhadap anak terdakwa Indonesia? Terus bagaimana ceritanya pelimpahan melalui daring? Alasan pembenarnya apa, pandemi tidak? Bukankah pelimpahan tahap dua, orang dan barang bukti sekaligus ikut dikirim penyidik kepolisian ke JPU, kan dia di BAP di sana, dihadapkan ke JPU yang menerima berkasnya dan menandatanganinya. Berarti yang kerja keras ini siapa dong?,” tutupnya. 012


TAGS :