Peristiwa

Warga Desa Jimbaran Temui Dewan Bali, Perjuangkan Tanah Turun-Temurun

 Senin, 03 Februari 2025 | Dibaca: 281 Pengunjung

Tampak warga Jimbaran, menuntut hak-hak atas tanah mereka. Pertemuan dengar pendapat dilakukan di Wantilan DPRD Bali, Senin (3/2/2025).

www.mediabali.id, Badung. 

Kesatuan Penyelamat Adat (Kepet Adat) yang juga warga Desa Jimbaran bertemu Komisi I DPRD Bali untuk melakukan rapat dengar pendapat, untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah yang ditempati secara turun temurun.

Wayan Bulat, SH., (68) selaku penggugat dan wakil kelompok, menjelaskan mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum atau gugatan perwakilan kelompok (Class Action) terhadap PT Jimbaran Hijau yang berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jalan Karangmas, Jimbaran, KutSel, Badung (Tergugat I); PT Citratama Selaras, berkedudukan di Jalan Hayam Wuruk Nomor 6, Sumerta Kelod, Denpasar (Tergugat II); Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali beralamat di Jalan Tjok Agung Tresna nomor 7, Renon, Denpasar (Tergugat III); PT Baruna Realty (Greenwoods Group) beralamat di Jalan TB Simatupang No.12, RT.1/RW.8, Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan (Tergugat IV); Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, beralamat di Jalan Dewi Saraswati Nomor 3, Seminyak, Kecamatan Kuta, Kab. Badung (Turut Tergugat).

Menurut Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, SH., yang menjadi duduk persoalan dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum/perwakilan kelompok ini adalah sebagai berikut:

Bahwa penggugat perwakilan kelompok dalam gugatan ini terdiri dari lima kelompok, yaitu; 1. Penyakap: Adalah kelompok masyarakat yang merupakan warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran. 2. Waris Penyakap: Adalah kelompok masyarakat yang merupakan ahli waris dari warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran. 3. Pemilik Lama: Adalah masyarakat yang memiliki hak-hak lama atas tanah dan/atau masyarakat yang pernah melakukan penguasaan fisik sporadik secara beritikad baik pada objek sengketa. 4. Krama Desa Adat: adalah Krama Desa Adat (anggota/masyarakat Desa Adat Jimbaran dan desa adat sekitarnya) yang berkepentingan terhadap objek sengketa. Beserta 5. Krama Subak: Adalah masyarakat petani tradisional yang tergabung sebagai anggota sejumlah Subak Abian di lokasi objek sengketa. Subak Abian merupakan salah Satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

"Bahwa pada Tahun 1994 pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum. Di mana pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara represif dan kekerasan serta menggunakan aparatur negara. Bahwa pembebasan lahan dengan kekerasan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum ternyata ditumpangi kepentingan bisnis pribadi. Di mana pada lahan para penggugat yang dibebaskan kemudian terbit sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)," ujar Wirama, di dampingi tim advokatnya, I Wayan Adi Aryanta, S.E, S.H, M.H; I Ketut Sukardiyasa, S.H; Dr. I Wayan Majuarsa, S.H., S.Sos., M.M, dan I Made Widiasa, S.H., di hadapan Komisi I DPRD Bali, Senin (3/2/2025) di Wantilan DPRD Bali.

Menurut Wirama, bahwa di antara SHGB yang terbit, diantaranya yang berhasil ditelusuri oleh penggugat, yaitu: SHGB nomor 370/Jimbaran, SHGB nomor 371/Jimbaran, SHGB 372/Jimbaran, SHGB nomor 188/Jimbaran, SHGB nomor 190/Jimbaran, SHGB nomor 192/Jimbaran, SHGB nomor 193/Jimbaran, SHGB nomor 189/Jimbaran, SHGB nomor 1069/Jimbaran, SHGB nomor 386/Jimbaran, SHGB nomor 4138/Jimbaran, SHGB nomor 4137/Jimbaran.

Lanjut Wirama, selain SHGB tersebut patut diduga masih ada SHGB lain yang diterbitkan, namun belum berhasil ditelusuri oleh Penggugat.

"SHGB tersebut patut diduga sudah ada turunan dan pecahannya. Bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut diterbitkan atas nama PT Citratama Selaras (Tergugat II). Kemudian penerbitan SHGB tersebut patut diduga melibatkan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali (Tergugat III); dengan menyetujui penerbitan SHGB berdasar pelepasan hak dari Desa Adat dan Kelurahan. Padahal, Para Penggugat sudah menguasai lahan tersebut dengan beritikad baik selama puluhan tahun dan turun-temurun. Sehingga lahan tersebut sepatutnya menjadi hak Para Penggugat dan bukan hak Desa Adat ataupun Kelurahan," bebernya.

Ditegaskan Wirama bahwa penguasaan yuridis sejumlah bidang lahan tersebut kemudian dialihkan oleh Tergugat II kepada PT Jimbaran Hijau (Tergugat I).

Bahwa SHGB-SHGB tersebut dengan dengan luas total 280 hektar kemudian diperpanjang dengan Surat Keputusan Presiden tentang Pembentukan Panitia Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC dan SK Menteri Pariwisata selaku Ketua Panitia APEC antara tahun 2010 hingga 2013.

"Sebelum diperpanjang dengan KTT APEC tersebut, sebagian besar dari 280 hektar lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional. Bahwa setelah SHGB diperpanjang, sebagian besar lahan tersebut pada kenyataannya masih terlantar, tidak digunakan sama sekali, dan tidak digunakan sebagaimana peruntukannya," ungkapnya.

Diduga setelah SHGB diperpanjang untuk keperluan sarana-prasarana dan fasilitas KTT APEC, pada kenyataannya hingga saat ini sebagian besar lahan masih kosong, terlantar, dan tidak ada fasilitas yang digunakan sebagai sarana-prasarana KTT APEC 2013.

Diungkapkan Wirama, diduga PT Jimbaran Hijau (Tergugat I) kemudian melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan PT Baruna Realty (Greenwoods Group) (Tergugat IV). Fakta ini memperkuat dalil bahwa walau ada lahan yang dipergunakan, namun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya sebagai sarana-prasarana KTT APEC.

Bahwa walau Penguasaan Yuridis dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II, namun Penguasaan Fisik pada sebagian besar lahan tetap dilakukan oleh Penggugat.

"Walau sering diusir dengan cara kekerasan, Para Penggugat, bersama orangtua dan keluarga terus mempertahankan penguasaan fisik atas sebagian bidang-bidang tanah tersebut," ucapnya.

Wirama menjelaskan walaupun dibebaskan dengan menggunakan cara kekerasan sejak 1997, kemudian diperpanjang secara melanggar hukum pada 2010 hingga 2013; Tergugat hingga saat ini tidak menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan umum dan/atau untuk keperluan sarana-prasarana KTT APEC. Sehingga Tergugat melakukan sejumlah perbuatan melanggar hukum, sebagai berikut :

Perbuatan Melanggar Hukum yang berkaitan dengan Pembebasan Lahan dengan penggunaan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia, dengan uraian sebagai berikut;

1) Apabila diterjemahkan secara bebas, penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

2) Pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen di atas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”).

3) Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

4) Maka apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut hemat Penggugat, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat.

5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”). Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian dapat diberikan dalam bentuk: uang; tanah pengganti; permukiman kembali; kepemilikan saham; atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

6) Bahwa penggusuran atau pembebasan lahan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum, kemudian berubah untuk kepentingan pribadi segelintir pengusaha yang dekat dengan kekuasaan.

Perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan penelantaran lahan: Pasal 6 ayat (1) huruf a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang selengkapnya berbunyi," terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai;"

"Dapat disimpulkan bahwa Tergugat memang benar menelantarkan lahan yang diberikan oleh negara kepada mereka. Perbuatan melanggar hukum yang berkaitan dengan daluwarsa hubungan hukum antara Tergugat dengan Objek Sengketa.

Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selengkapnya berbunyi, "Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang."

Sehingga, Daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang.

Sehingga dapat dipahami karena Lahan yang dibebaskan dari warga pemilik alas hak sebelumnya, namun perusahaan yang diberikan hak kemudian tidak memanfaatkan lahan yang diberikan oleh Negara. Maka saat ini hak perusahaan terhadap lahan tersebut adalah daluwarsa, dan pemilik alas hak sebelumnya berhak untuk mengambil/mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah tersebut.

I Dewa Nyoman Rai dari Komisi I DPRD Bali mendukung langkah hukum yang sedang diperjuangkan masyarakat Jimbaran.

"Diketahui proses perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan, atas tanah/lahan seluas 280 Hektar pada Tahun 2010 di Jimbaran, Kuta Selatan, Badung, yang diduga dilakukan secara melawan hukum. Sebab, ketika diperpanjang sebagian besar lahan tersebut dalam kondisi terlantar," ujarnya.

Ketut Tama Tenaya menyatakan diduga adanya penyalahgunaan Surat Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur, dan pejabat lainnya bahwa lahan tersebut akan digunakan untuk sarana prasarana kegiatan multilateral yang diselenggarakan pada tahun 2013.

"Tapi, hingga saat ini di lokasi tidak ada pembangunan sebagaimana dimaksud," katanya.

Diduga perpanjangan HGB dipaksakan. Sebab, sebelumnya ada surat penetapan indikasi tanah terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sehingga sepatutnya tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik hak-hak lama, bukan justru diperpanjang HGB-nya. 012
 


TAGS :